Jam tua di depan kantor kepala Stasiun Jebres menunjuk angka 10.30 WIB. Itu artinya 20 menit lagi yang aku tunggu-tunggu akan datang. Sesekali aku mengintip secarik tiket orange. Melihat nomor gerbong dan nomor tempat duduk yang sudah disiapkan untuk ku. Tak lupa membawa sedikit cemilan dan minuman sebagai teman diperjalanan. Semakin lama, kerumunan di Stasiun semakin ramai. Kebanyakan orang di Stasiun tersebut menunggu apa yang aku tunggu.
Setelah jam tua itu menunjuk ke angka 10.50 WIB, akhirnya muncul juga dari perbukitan. Sesosok besi yang saling berkaitan. Sebuah Lokomotif model CC201 berwarna putih dengan logo Kereta Api Indonesia di sampingnya yang menarik gerbong-gerbong menjadi satu kesatuan. Sebuah garis putih di samping rel menjadi batas bagi penumpang yang akan naik. Dengan harga yang relatif murah, menjadikan sarana transportasi ini digemari semua elemen masyarakat.
Suara rem terdengar dari kejauhan. Seakan menjadi sinyal bagi aku untuk bersiap-siap. Kemudian sesosok besi itu berhenti di depan ku. Kereta Api Pasundan sudah siap untuk mengantarkan ku pulang ke kampung halaman untuk bertemu orang tua. Dengan raut wajah yang gembira aku mencari tempat duduk yang akan setia menemani ku saat perjalanan Solo-Cilacap. Dua Ibu-Ibu dan sesosok bapak-bapak dengan wajah yang relatif tua menjadi teman sebangku ku. Ramah dan baik hati, kesan pertama untuk ketiga orang ini.
Seiring dengan berbunyinya peluit dari sang penjaga stasiun, pemandangan diluar sedikit demi sedikit bergerak. Perjalanan jauh siap aku tempuh bersama gerbong K3-5 ini. Gerbong ekonomi yang mengangkut sekitar 40-50 penumpang dengan berbagai tujuan. Disinilah kehidupan “mini” itu dimulai. Kehidupan di dalam gerbong ekonomi. Kehidupan yang selalu saja menarik untuk kita selami. Para pedagang asongan, pengamen, pengemis seakan menjadi aktor di kehidupan “mini” ini. Mereka turut serta meramaikan gerbong ini.
Lelaki paruh baya dengan berpakaian baju batik lengkap dengan kopiahnya menyapa aku. Lelaki yang bertempat duduk disebelah ku. "Dek, turun dimana nanti?", tutur beliau. "Mau turun di Stasiun Banjar pak", balasan ku sambil memberikan senyuman khas ku. "Kalau bapak turun dimana?", tanyaku. "Oh, kalau bapak bentar lagi juga turun, turun di purwosari dek", balas sang bapak. "Wah bentar lagi dong pak, emang bapak dari mana?", balasan ku. "Bapak dari Surabaya dek". "Wah, jauh juga ya pak", balas ku.
Percakapan dengan teman sebangku ku diakhiri dengan hangat. Seakan-akan perbincangan antara bapak dan anaknya. Selain hangatnya percakapan tadi, suasana di dalam gerbong juga tak kalah hangatnya, bahkan lebih mendekati ke suhu yang panas. Seperti di oven di sebuah dapur raksasa dengan suhu lebih dari 100 derajat celcius. Keringat sudah tak terbedung lagi, seperti air terjun niagara, mengucur deras ke sela-sela baju yang aku kenakan. Tak ada tissue, baju pun jadi. Aku husap keringat-keringat di badan dan leher ku dengan baju yang aku pakai. Parfum yang aku gunakan sebelum berangkat sudah tak mampu lagi menahan bau keringat khas ku. Kebetulan cuaca di luar sangatlah terik. Matahari sedang tak malu-malu kucing lagi menunjukkan sinarnya ke penduduk bumi. Awan-awan di langit seakan-akan sedang tak mau menemani sang mentari, menemani untuk mengurangi teriknya. Sinar-sinarnya masuk melalui jendela-jendela yang terbuka lebar. Angin sepoi-sepoi juga turut masuk kedalam gerbong. Mengurangi suhu didalamnya.
Dengan kondisi ini, penjual es sedikit diuntungkan. Banyak sekali penjual es berlalu lalang di gerbong ini. Berbagai macam jenis minuman ditawarkan. Ada air mineral yang dibekukan, ada es teh lengkap dengan botolnya, ada minuman kesehatan, ada pula kopi tak lupa dengan susunya. Memang unik cara penjual memperdagangkan dagangannya. Ada yang ditarik dengan tempat minum yang menyerupai kursi kecil, ada yang digendong seperti menggendong anak, ada pula penjual yang memanggul dagangannya. Cara penjual mempromosikan dagangannya pun tak kalah uniknya.
“Ora enak, ora bayar”, ujar salah satu penjual disudut gerbong. Teriakan si penjual tadi sedikit mengusik ketenangan aku. Ketenangan karena kepanasan dan kehausan. Aku tertarik akan kalimat yang penjual itu katakan. Masih lekat logat ngapaknya, logat khas daerah Banyumas. “Pak, beli”, panggil ku. Si penjual datang mendekati tempat duduk ku. “Oia mas, mau yang mana?”, balas si penjual. “Emangnya bapak jual minuman apa aja disini?”, sambungku. “Wah uakeh mas, ini ada es teh, dawet, aqua, es kacang ijo. Gula ne juga asli lho. Mau pilih yang mana?”, lanjut si penjual. “Es teh aja deh pak, berapaan pak satunya?”, ujarku. “Murah mas, cuma 2 ribu”, tambah si penjual. “Ini pak uangnya, yang masih dingin loh pak”. “Siap mas”. Uang 2 ribu rupiah sudah berpindah tangan. Es teh dengan air gula asli pun sudah aku genggam. Suara air meluncur ke dalam tenggorokan terdengar cukup keras. Dahaga yang aku rasakan tiba-tiba hilang karena es teh itu. Memang benar rasa es teh itu enak, rasa manisnya alami, tidak ada unsur pemanis buatan didalamnya.
Tak sadar, jarum jam tangan ku sudah menunjuk ke angka 2. Pantas saja rasa panas semakin menyengat, pukul 2 siang merupakan puncaknya siang hari, matahari tepat di atas gerbong, seakan-akan sedang mengintai. Tiba-tiba ada suara perut yang terdengar. Aku baru sadar, sudah sejak pagi hari aku belum makan. Bergegas lah aku mencari penjual makanan. “Yang anget yang anget”, terdengar suara ibu-ibu setengah baya. Aku langsung saja mencari asal dari suara itu. Dan ya ketemu. Seorang penjual makanan nasi bungkus, ditambah dengan pecel dan makanan kecilnya seperti mendoan, tahu, bakwan. Dibandingkan dengan makanan nasi bungkus yang dijual diluar sana, nasi bungkus yang didagangkan di dalam gerbong sangatlah murah. Dengan 5 ribu kita sudah mendapatkan nasi bungkus dengan lauk pauk ayam.
Selang beberapa menit kemudian, perut sudah terisi penuh dengan nasi bungkus dan aku pun mulai mengantuk. Rasa kantuk menyerang karena kondisi gerbong yang sudah lumayan tidak panas lagi, ditambah dengan perut yang sudah terisi. Tiba-tiba ada seorang anak kecil menghampiri ku. Dengan pakaian yang apa adanya, terdapat sobekan disana-sini. Berjalan menghampiri seperti jalannya “suster ngesot”. Ternyata anak itu menderita cacat di kakinya dari lahir. Dengan muka yang memelas, anak itu menjulurkan tangannya. Seakan membuat sinyal ingin meminta uang. Rasa kantuk ku yang tadi kurasakan, agak sedikit menghilang. Aku cari uang di sela-sela kantong celana ku. Kutemukan beberapa uang kecil untuk anak ini. “Nih dek, ada sedikit rejeki buat kamu”, ujar ku. “Makasih kak”, balas anak itu.
Kejelasan isi UUD pasal 34 ayat (1) patut untuk dipertanyakan disini. Dalam pasal itu, katanya fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, tapi dalam kenyataan dapat kita lihat tadi. Seorang anak meminta-minta demi melanjutkan hidupnya, demi sesuap nasi. Sungguh ironis dengan kenyataan ini. Negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah, negara luas dengan penduduk yang beraneka ragam, tentunya pasti bisa mewujudkan pasal 34 tadi. Asal ada kemauan dan niat yang keras dari semua orang, khususnya pemerintah. Tak ada yang mustahil.
Jam tangan ku sudah menunjukkan ke angka 17.15, kereta api pasundan sudah tiba di Stasiun Banjar. Aku pun bergegas segera meninggalkan tempat dudukku dan turun dari kereta. Kulihat ada deretan bangku yang kosong, sedikit kurebahkan badan ku ke salah satu bangku itu. Sembari menunggu jemputan dari rumah aku berpikir betapa berharganya pengalaman ku selama perjalanan didalam gerbong tadi.
Sebuah kehidupan “mini” tersaji didalam gerbong ekonomi. Kehidupan penuh cobaan, penuh semangat demi mencari sesuap nasi. Dengan pengalaman yang berharga tadi, dapat dijadikan sebagai patokan bahwa perjuangan hidup itu memang berat. Didalam gerbong tadi, kehidupan mini yang penuh cobaan dapat diibaratkan sebagai bapak si penjual minuman, ibu si penjual makanan nasi bungkus, dan si anak laki-laki yang mengemis. Namun kita jangan menyerah dengan keadaan. Asal ada kemauan pasti ada jalannya.
Dhany Dimas O
Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS