Dijodohkan...

Orang-orang tua kita dulu, kebanyakan menikah karena dijodohkan. Kenapa mereka mau saja dijodohkan? Kan kenal juga belum? Cinta apalagi? Jawabannya simpel: karena nilai-nilai kehidupan yang dianut di jaman tersebut.

Dulu, orang-orang tua kita diajarkan nasehat yang sangat lembut: "Witing tresna jalaran saka kulina." Artinya (buat yang bukan orang jawa), kita bisa jatuh cinta karena terbiasa bersama. Ketika anak-anak ditanamkan nilai seperti ini, maka dia akan tumbuh dengan keyakinan, cinta adalah proses panjang. Saat tiba dewasa, dijodohkan dengan orang lain, mereka mengangguk bersedia, maka genap sudah nilai-nilai tersebut bertransformasi. Apakah pernikahan itu akan awet? Tergantung seberapa yakin mereka dengan nilai-nilai kehidupan tersebut. Tanpa keyakinan, maka bubar jalan. Tapi dengan keyakinan tangguh, apapun yang terjadi, pertengkaran, berantem, tidak cinta, sing penting dijalani. Insya Allah, nduk, tole, witing tresna jalaran saka kulina. Dan cinta itu benar-benar tumbuh. Lihatlah orang-orang tua kita, setelah menikah berpuluh-puluh tahun, wajah mereka bahkan jadi mirip satu sama lain. Gerak tubuh suami-istri, ekspresi senyum, intonasi suara. Mirip sekali.

Apakah hari ini anak-anak kita bersedia dijodohkan? Lagi-lagi tergantung nilai-nilai kehidupan yang kita berikan kepada mereka hari ini. Tulisan ini tidak akan membahas mana yang lebih baik, mana yang lebih unggul. Apalagi menjelek-jelekan satu cara, sementara memuji-muji cara lain.

Mungkin, anak-anak hari ini lebih percaya atas cinta yang dicari sendiri. Berkenalan dengan jodohnya sendiri, melewati fase-fase saling mengetahui, baru menikah. Itu pilihan jaman. Dan setiap jaman memilih caranya sendiri. Hanya saja, ada satu catatan ajaib yang perlu diketahui: seberapa yakin kita dengan cara, nilai-nilai kehidupan tersebut. Karena itulah kata kunci dari semua urusan.
Tanpa keyakinan, cinta hanya soal suka dan tidak, adik-adik sekalian. Dan sama persis seperti urusan suka dan tidak suka makan bakso, kita besok lusa bisa bosan, bisa malas, bisa ilfil. Pernikahan lebih panjang dibanding urusan makan bakso. Kita tidak bisa istirahat, minta cuti, atau break menikah. Tidak ada juga time out, apalagi gencatan senjata. 
Orang tua dulu juga sering menasehati: "Anak-anakku, cinta itu buta". Maka pernikahan akan membuat kita melek. Melihat semuanya. "Akan ada yang setelah menikah, bisa melihat semakin indahnya cinta tersebut. Juga ada yang setelah menikah, bisa melihat ternyata cinta tak semanis kata-kata gombal saja."

Mana yang lebih awet antara dijodohkan, pakai pacaran, pakai kenalan, pakai ini, itu, dan sebagainya? Tidak ada jawaban pastinya. Karena semua itu tidak ada korelasinya dengan awet atau tidak. Yang ada: rambu-rambu agama tidak bisa diterabas begitu saja. Tidak bisa diganggu-gugat.

Semoga kalian memiliki pemahaman terbaik soal jodoh, menikah ini. Ingat baik-baik, itu semua adalah kehidupan kita, kitalah yang akan menjalaninya. Bahagia, tidak bahagia, kita yang akan menjalaninya. Apakah kita mau seperti orang tua kita, menikah 40 tahun, 50 tahun, dan wajah mereka cerah satu sama lain, amboi terlihat mirip, dua sahabat sejati.

Coretan dari Darwis Tere Liye.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan Komentar tapi yang sopan ya :))

time is...

contact me on...

about me...

My photo
Cilacap - Solo, Jawa Tengah, Indonesia
Hobinya sih motret, tapi bukan fotografer, cuma tukang foto biasa. Hasil foto dari segala jenis kamera. Sekadar share tentang dunia fotografi, jurnalistik, tugas kuliah, dan cerita-cerita lainnya. Happy Blogging...